Resume buku
IJTIHAD
MEMBANGUN BASIS GERAKAN
Oleh : Ajeng Salsadilla
Komisariat Ulul
Albab, KAMMI Daerah Malang
Habib Nabiel bin Fuad al-Musawa dalam
buku “Ijtihad Membangun Basis Gerakan” berkata bahwa keberadaan pemuda dalam
kehidupan kemanusiaan sangat penting, karena
mereka potensial untuk
mewarnai perjalanan sejarah umat manusia. Pemuda adalah calon pemimpin masa datang. Merekalah
yang akan merubah umat, menjadi baik dan jaya atau
menjadi sebaliknya. Peranan pemuda dirasakan penting karena mereka mempunyai
beberapa potensi, yaitu bathul himmah fi at tasaaulat (membangkitkan
semangat di dalam bertanya /bersikap kritis), naqlul ajyaal (memindahkan
dari generasi ke generasi),
istibdaalul ajyal (menukar / mengganti suatu generasi), tajdid
maknawiyah al ummah (memperbaharui moralitas ummat) dan anasir ishlah
(unsur perubah). Dan disinilah peran pemuda atau mahasiswa akan dimulai.
Dua belas tahun lalu, tepatnya pada
tanggal 29 Maret 1998, dideklarasikanlah oleh Fahri Hamzah sebuah gerakan
mahasiswa muslim yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Rezim Orde Baru yang banyak menuai gejolak masyarakat membuat KAMMI hadir
sebagai salah satu kekuatan mahasiswa saat itu. Mahasiswa adalah sosok yang
mampu membongkar semua siasat besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok
berkuasa. Cara berpikirnya mahasiswa, sebetulnya bukan politik praktis, namun
politik moral (etik). Pada masa Orde Baru, mahasiswa Indonesia terus berusaha
mengkritisi kebijakan pemerintah yang selalu merugikan masyarakatnya sendiri.
Pembubaran Dewan Mahasiswa dan
diberlakukannya konsep baru NKK/BKK oleh pemerintah adalah bentuk penggiringan
mahasiswa untuk menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan
berlomba menyelesaikan kuliah saja. Padahal dari kampuslah awal sebuah ruang
gerak pemuda ditengah kokohya Negara. Kampus adalah pusat peradaban dan pusat
pembangunan generasi terdidik bangsa yang akan meneruskan tongkat perjuangan
bagi generasi sebelumnya. Dalam tingkatan ini, maka masjid kampus menjadi basis
pergerakan dan perjuangan dakwah bagi para aktivis mahasiswa.
Amin Sudarsono dalam bukunya ini,
mengklasifikasikan bahwa basis gerakan dibagi menjadi dua, yaitu Software
Gerakan dan Hardware Gerakan. Pembahasan mengenai software gerakan disini
mengelaborasikan software gerakan KAMMI, yaitu ideologi, tafsir atas paradigma
dan penjelasan tentang intelektulitas sebagai sarana obyektivitas terhadap agama
dan dunia sekaligus.
Ideologi memiliki fungsi mempolakan,
mengkosolidasi dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi adalah
kacamata hidup. Suatu ideologi untuk dapat terus bertahan di tengah tuntutan
aspirasi masyarakat dan perkembangan modernitas dunia, setidaknya harus
memiliki tiga dimensi : realita, idealisme dan fleksibilitas. Ideologi-ideologi
besar seperti Liberalisme, Komunisme dan Sosialisme banyak dijadikan ideologi
disuatu Negara. Tetapi, dalam beberapa kasus semua ideologi tersebut masih
dianggap belum bisa menjadi landasan yang baik dalam mengatur suatu Negara.
Dengan beragamnya ideologi didunia, manakah yang paling menjamin terciptanya
tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Apakah Islam dapat
dijadikan ideologi?
Islam adalah sebuah sistem
yang khas, unik dan berdiri sendiri. Islam memiliki seperangkat aturan yang
menjadi way of life dan tuntutan praktis bagi para pemeluknya. Islam
mengedepankan spiritualitas sebagai basis pembentuk kebijakan, selain juga
mengurusi persoalan material. Ini memahami agama Islam bukan sekadar sebagai
keyakinan agama (aqidah diniyyah), tetapi ia adalah aturan sosial (qanuun
ijtima’iyyah), petunjuk spiritual (hidayah ruuhiyah) dan ikatan
sosial politik (rabithah ijtima’iyah siyasiyah). Inti dari Islam adalah
Tauhid (laa ilaaha illallah – Muhammadan rasuulullah), memurnikan
penyembahan dan peribadatan hanya untuk Allah Swt. Dan dalam Paradigma Gerakan
KAMMI (Garis-garis Besar Haluan Organisasi) GBHO KAMMI disebutkan bahwa KAMMI
adalah Gerakan Dakwah Tauhid.
Bagaimana konsep
intelektual dalam Islam? Istilahnya mungkin bisa disebut dengan Ulil Albab.
Dalam konsep ini, kata ulil albab berarti kesinambungan antara kemampuan
berpikir, merenung dan membangun teori ilmiah dari realitas alam yang empiris
dengan metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam
analisisnya dengan mengasah hati dan rasa melalui berdzikir. Tugas kaum
intelektual tak semata mengayam kata, menelurkan gagasan, tetapi juga harus
berupaya mengubah realitas yang timpang, mengubah kata-kata menjadi kenyataan.
Dalam menuntut harakah thulabiyah ini KAMMI mencantumkan Gerakan
Intelektual Profetik di dalam GBHO KAMMI. Intelektual profetik lahir bukan
hanya untuk berwacana atau menenggelamkan diri dalam lautan buku dan diskusi
belaka, namun untuk membentuk pejuang Islam yang cerdas, berpihak pada rakyat
dan berjuang dalam konteks kekinian.
Seorang negarawan memiliki
karakter moral yang pasti, dimana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan
sepenuh hati. Sudah semestinya, jiwa kenegarawanan dimiliki oleh diri seorang
pemimpin khususnya kader KAMMI yang memiliki visi menjadi Muslim Negarawan.
Profil muslim negarawan dalam visi tersebut adalah kader yang memiliki (1)
basis ideologi Islam yang mengakar, (2) basis pengetahuan dan pemikiran yang
mapan, (3) idealis dan konsisten, (4) berkontribusi pada pemecahan problematika
umat dan bangsa, serta (5) mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya
perbaikan.
Perubahan sosial berarti
pergeseran struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Terdapat tiga bentuk
perubahan sosial : evolusi, revolusi dan reformasi. Agar dakwah dapat tumbuh
secara berkelanjutan, maka KAMMI menyusun dirinya atas unsur-unsur (1) qo’idah
ijtima’iyah (basis sosial), (2) qo’idah harokiyah (basis
operasional), (3) qo’idah fikriyah (basis konsep), (4) qo’idah
siyasiyah (basis kebijakan). Posisi KAMMI sebagai garda depan perubahan
akan menduduki posisi penting dalam struktur masyarakat. Tantangan Ghazwul Fikri dan Kesetaraan Gender
yang menyerang intelektual Muslim semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia.
Sudah saatnya kaum Muslim bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi
Barat, maka tugas KAMMI adalah untuk meluruskan itu.
Setelah mengetahui
software gerakan, maka diperlukannya hardware gerakan untuk sebuah aksi nyata.
Butuh kemampuan taknis untuk mengoperasikan ideologi, paradigma, gagasan
intelektual dan pandangan politiknya. Mengingat soal aksi pasti kembali lagi ke
kampus, tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat lahirnya cadangan
pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar
dan berpengaruh pernah digembleng di kampus. KAMMI harus mampu memanfaatkan
potensi ini dan mengoptimalkan perannya diranah politik kampus, seperti, (1)
penguatan kaderisasi, (2) terlibat dalam struktur lembaga internal
kemahasiswaan, (3) membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil
kebijakan di tingkat fakultas dan universitas, (4) membangun ketokohan.
Aksi massa menjadi metode
perjuangan yang mengandalkan kekuatan massa dalam menekan pemerintah atau pihak
lain, untuk mencabut atau memberlakukan kebijakan yang tidak dikehendaki massa.
Sebelum turun aksi kita harus mengetahui siapa target dan elemen aksinya,
bagaimana merencanakan strategi dan teknisnya, persiapkan dengan matang
perangkat dan instrumentnya, dan jangan lupa untuk evaluasi dan koreksi.
Mengelola organisasi
haruslah mengutamakan kerjasama tim. Di ruang inilah kemudian terjadi diskusi. Sebagaimana
Rasulullah sangat bersemangat untuk melaksanakan syuro. Hendaknya setiap
peserta syuro mempersiapkan kontribusi pemikiran yang akan dibahas.
Mereka harus paham betul etika dalam syuro dan diskusi, juga mengetahui
manajemen persidangan seperti, bentuk, sifat dan instrumen persidangan, cara
pengambilan keputusan, istilah-istilah persidangan dan sebagainya.
Demi keberhasilan semua
itu, diperlukan juga mengetahui teknik propaganda bagaimana berkomunikasi
persuasif dan strategi pencitraan. Kita juga harus memanfaatkan media massa
dalam sarana dakwah ini agar lebih cepat mencapai sasaran. Aktivis KAMMI perlu
memahami ragam media dan berita. Aktivis KAMMI juga perlu terbuka sebagai
pengantar advokasi anggaran. Sudah saatnya, KAMMI melakukan demonstrasi dengan
berbasis data angka, jangan hanya imbauan moral atau seruan yang tidak membumi.
Bagian terakhir buku ini
tentang mengelaborasi pembacaan global atas realitas sosial religius masyarakat
kita. Tantangan di era dunia globalisasi dengan segala konsekuensi budaya,
politik, ekonomi, dan sosial seperti
ini, bagaimana prospek Negara khilafah terbentuk. Jika dalam mendudukkan wacana
khilafah dalam konteks keindonesiaan, yang harus difikirkan adalah bagaimana
agar kompatibel dengan sistem politik kenegaraan di Nusantara ini. Jika
membangun kultur tanpa struktur, maka struktur itu akan lebih cepat hancur.
Selama ini juga, telah banyak berkembang konsep-konsep ukhuwah yang
dilontarkan para cendekiawan muslim. Penulis menawarkan sebuah konsep yang
cukup signifikan bagi kondisi mutakhir gerakan Islam, yaitu ukhuwah
harakiyyah (persaudaraan antara gerakan Islam). Persaudaraan ini menjadi
inti dari keberhasilan misi Islam untuk memuliakan kehidupan manusia dengan
sistemnya yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (sempurna).
Humanisasi adalah
memanusiakan manusia. Saat ini sedang terjadi proses dehumanisasi. Liberasi
adalah pembebasan bangsa dari kemungkaran, kekejaman, kemiskinan, keangkuhan
teknologi dan pemerasan. Dengan liberasi, kita ingin bersama membebaskan diri
dari belenggu-belenggi yang kita bangun sendiri. Sementara transendensi adalah
menambahkan dimensi transenden dalam seluruh sendi kehidupan. Inilah
manifestasi ihsan sesunggunya, saat kita merasa Allah selalu mengawasi manusia.
Dimensi transcendental ini adalah peneguhan tauhid secara terus menerus,
kontinyu dan mewaspadai penyusutan (yankuz).
Wacana Consciousness
atau kesadaran kritis menjelajah ruang psikis anak Adam, berbicara tentang
ketertindasan yang dinikmati, pemberontakan terhadap hegemoni dan proses menuju
peneguhan sebuah kesadaran. Dalam tahapan inilah kesadaran spritiual-religius
harusnya telah tersistem dalam diri seorang kader. Seperti tantangan ghazwul
fikr (perang pemikiran), dalam konteks pendidikan (tarbiyah),
hegemoni itu yang sering terjadi. Maka diperlukannya seorang pengendali
komunitas kecil (murobbi) menghegemoni sisi rasionalitas, psikis dan
perilaku keseharian anggota komunitas tersebut (halaqoh), hingga
memenuhi apa yang distandarkan (muwashafat rijal al-da’wah). Ketika
seluruh perangkat dalam proses tarbiyah ini mampu “membebaskan” mad’u
dari “ketertindasan” dan hegemoni intelektual, psikis dan perilaku, maka kader tarbiyah
yang tercipta adalah pekerja-pekerja kritis yang tahu apa yang harus
dilakukannya dan menyadari seluruh posisi yang harus diambilnya. Terlebih
sebagai salah satu komponen dari kapal dakwah ini. Wallahu’alam.
TENTANG PENULIS BUKU
AMIN SUDARSONO. Lahir di Grobogan Jawa Tengah, 20 Juni 1982.
Sekolah di SDN 2 Panunggalan, SMPN 1 Pulokulon dan SMAN 2 Semarang. Sembari
nyantri di Pondok Pesantre Salafiyah Al-Munawir Semarang.
Alumni Jurusan Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini pernah bekerja sebagai wartawan di
Banjarmasin Post (Kelompok Kompas Gramedia) dan editor pada Majalah Rumah
Lentera milik Rumah Zakat Indonesia Bandung.
Amin suka bergelut di dunia aktivis. Saat ini mendapat amanah
sebagai Ketua Departemen Kajian Strategis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) Pusat periode transisi 2009-2010. Aktivitas advokasi dan
penelitiannya, sekarang banyak di Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
Jakarta. Buku terakhirnya yang terbit berjudul Mengembalikan Hak Umat:
Pengalaman Nahdliyin Center Pekalongan dalam Membangun dan Memberdayakan Umat
(Jakarta: PATTIRO, 2010).
Suami Alwin Khafidhoh ini, sekarang memilih tinggal di Kota
Bandung. Dia bisa dihubungi melalui amin_sudarsono@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar