Rabu, 13 Mei 2020

Resume Ijtihad Membangun Basis Gerakan


Resume buku
IJTIHAD MEMBANGUN BASIS GERAKAN
Oleh : Ajeng Salsadilla
Komisariat Ulul Albab, KAMMI Daerah Malang

Habib Nabiel bin Fuad al-Musawa dalam buku “Ijtihad Membangun Basis Gerakan” berkata bahwa keberadaan pemuda dalam kehidupan kemanusiaan sangat penting, karena mereka potensial untuk mewarnai perjalanan sejarah umat manusia. Pemuda adalah calon pemimpin masa datang. Merekalah yang akan merubah umat, menjadi baik dan jaya atau menjadi sebaliknya. Peranan pemuda dirasakan penting karena mereka mempunyai beberapa potensi, yaitu bathul himmah fi at tasaaulat (membangkitkan semangat di dalam bertanya /bersikap kritis), naqlul ajyaal (memindahkan dari generasi ke generasi),  istibdaalul  ajyal  (menukar / mengganti suatu generasi), tajdid maknawiyah al ummah (memperbaharui moralitas ummat) dan anasir ishlah (unsur perubah). Dan disinilah peran pemuda atau mahasiswa akan dimulai.
Dua belas tahun lalu, tepatnya pada tanggal 29 Maret 1998, dideklarasikanlah oleh Fahri Hamzah sebuah gerakan mahasiswa muslim yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Rezim Orde Baru yang banyak menuai gejolak masyarakat membuat KAMMI hadir sebagai salah satu kekuatan mahasiswa saat itu. Mahasiswa adalah sosok yang mampu membongkar semua siasat besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok berkuasa. Cara berpikirnya mahasiswa, sebetulnya bukan politik praktis, namun politik moral (etik). Pada masa Orde Baru, mahasiswa Indonesia terus berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah yang selalu merugikan masyarakatnya sendiri.
Pembubaran Dewan Mahasiswa dan diberlakukannya konsep baru NKK/BKK oleh pemerintah adalah bentuk penggiringan mahasiswa untuk menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah saja. Padahal dari kampuslah awal sebuah ruang gerak pemuda ditengah kokohya Negara. Kampus adalah pusat peradaban dan pusat pembangunan generasi terdidik bangsa yang akan meneruskan tongkat perjuangan bagi generasi sebelumnya. Dalam tingkatan ini, maka masjid kampus menjadi basis pergerakan dan perjuangan dakwah bagi para aktivis mahasiswa.
Amin Sudarsono dalam bukunya ini, mengklasifikasikan bahwa basis gerakan dibagi menjadi dua, yaitu Software Gerakan dan Hardware Gerakan. Pembahasan mengenai software gerakan disini mengelaborasikan software gerakan KAMMI, yaitu ideologi, tafsir atas paradigma dan penjelasan tentang intelektulitas sebagai sarana obyektivitas terhadap agama dan dunia sekaligus.
Ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkosolidasi dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi adalah kacamata hidup. Suatu ideologi untuk dapat terus bertahan di tengah tuntutan aspirasi masyarakat dan perkembangan modernitas dunia, setidaknya harus memiliki tiga dimensi : realita, idealisme dan fleksibilitas. Ideologi-ideologi besar seperti Liberalisme, Komunisme dan Sosialisme banyak dijadikan ideologi disuatu Negara. Tetapi, dalam beberapa kasus semua ideologi tersebut masih dianggap belum bisa menjadi landasan yang baik dalam mengatur suatu Negara. Dengan beragamnya ideologi didunia, manakah yang paling menjamin terciptanya tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Apakah Islam dapat dijadikan ideologi?
Islam adalah sebuah sistem yang khas, unik dan berdiri sendiri. Islam memiliki seperangkat aturan yang menjadi way of life dan tuntutan praktis bagi para pemeluknya. Islam mengedepankan spiritualitas sebagai basis pembentuk kebijakan, selain juga mengurusi persoalan material. Ini memahami agama Islam bukan sekadar sebagai keyakinan agama (aqidah diniyyah), tetapi ia adalah aturan sosial (qanuun ijtima’iyyah), petunjuk spiritual (hidayah ruuhiyah) dan ikatan sosial politik (rabithah ijtima’iyah siyasiyah). Inti dari Islam adalah Tauhid (laa ilaaha illallah – Muhammadan rasuulullah), memurnikan penyembahan dan peribadatan hanya untuk Allah Swt. Dan dalam Paradigma Gerakan KAMMI (Garis-garis Besar Haluan Organisasi) GBHO KAMMI disebutkan bahwa KAMMI adalah Gerakan Dakwah Tauhid.
Bagaimana konsep intelektual dalam Islam? Istilahnya mungkin bisa disebut dengan Ulil Albab. Dalam konsep ini, kata ulil albab berarti kesinambungan antara kemampuan berpikir, merenung dan membangun teori ilmiah dari realitas alam yang empiris dengan metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam analisisnya dengan mengasah hati dan rasa melalui berdzikir. Tugas kaum intelektual tak semata mengayam kata, menelurkan gagasan, tetapi juga harus berupaya mengubah realitas yang timpang, mengubah kata-kata menjadi kenyataan. Dalam menuntut harakah thulabiyah ini KAMMI mencantumkan Gerakan Intelektual Profetik di dalam GBHO KAMMI. Intelektual profetik lahir bukan hanya untuk berwacana atau menenggelamkan diri dalam lautan buku dan diskusi belaka, namun untuk membentuk pejuang Islam yang cerdas, berpihak pada rakyat dan berjuang dalam konteks kekinian.
Seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, dimana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Sudah semestinya, jiwa kenegarawanan dimiliki oleh diri seorang pemimpin khususnya kader KAMMI yang memiliki visi menjadi Muslim Negarawan. Profil muslim negarawan dalam visi tersebut adalah kader yang memiliki (1) basis ideologi Islam yang mengakar, (2) basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, (3) idealis dan konsisten, (4) berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta (5) mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan.
Perubahan sosial berarti pergeseran struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Terdapat tiga bentuk perubahan sosial : evolusi, revolusi dan reformasi. Agar dakwah dapat tumbuh secara berkelanjutan, maka KAMMI menyusun dirinya atas unsur-unsur (1) qo’idah ijtima’iyah (basis sosial), (2) qo’idah harokiyah (basis operasional), (3) qo’idah fikriyah (basis konsep), (4) qo’idah siyasiyah (basis kebijakan). Posisi KAMMI sebagai garda depan perubahan akan menduduki posisi penting dalam struktur masyarakat. Tantangan  Ghazwul Fikri dan Kesetaraan Gender yang menyerang intelektual Muslim semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia. Sudah saatnya kaum Muslim bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat, maka tugas KAMMI adalah untuk meluruskan itu.
Setelah mengetahui software gerakan, maka diperlukannya hardware gerakan untuk sebuah aksi nyata. Butuh kemampuan taknis untuk mengoperasikan ideologi, paradigma, gagasan intelektual dan pandangan politiknya. Mengingat soal aksi pasti kembali lagi ke kampus, tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat lahirnya cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus. KAMMI harus mampu memanfaatkan potensi ini dan mengoptimalkan perannya diranah politik kampus, seperti, (1) penguatan kaderisasi, (2) terlibat dalam struktur lembaga internal kemahasiswaan, (3) membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil kebijakan di tingkat fakultas dan universitas, (4) membangun ketokohan.
Aksi massa menjadi metode perjuangan yang mengandalkan kekuatan massa dalam menekan pemerintah atau pihak lain, untuk mencabut atau memberlakukan kebijakan yang tidak dikehendaki massa. Sebelum turun aksi kita harus mengetahui siapa target dan elemen aksinya, bagaimana merencanakan strategi dan teknisnya, persiapkan dengan matang perangkat dan instrumentnya, dan jangan lupa untuk evaluasi dan koreksi.
Mengelola organisasi haruslah mengutamakan kerjasama tim. Di ruang inilah kemudian terjadi diskusi. Sebagaimana Rasulullah sangat bersemangat untuk melaksanakan syuro. Hendaknya setiap peserta syuro mempersiapkan kontribusi pemikiran yang akan dibahas. Mereka harus paham betul etika dalam syuro dan diskusi, juga mengetahui manajemen persidangan seperti, bentuk, sifat dan instrumen persidangan, cara pengambilan keputusan, istilah-istilah persidangan dan sebagainya.
Demi keberhasilan semua itu, diperlukan juga mengetahui teknik propaganda bagaimana berkomunikasi persuasif dan strategi pencitraan. Kita juga harus memanfaatkan media massa dalam sarana dakwah ini agar lebih cepat mencapai sasaran. Aktivis KAMMI perlu memahami ragam media dan berita. Aktivis KAMMI juga perlu terbuka sebagai pengantar advokasi anggaran. Sudah saatnya, KAMMI melakukan demonstrasi dengan berbasis data angka, jangan hanya imbauan moral atau seruan yang tidak membumi.
Bagian terakhir buku ini tentang mengelaborasi pembacaan global atas realitas sosial religius masyarakat kita. Tantangan di era dunia globalisasi dengan segala konsekuensi budaya, politik,  ekonomi, dan sosial seperti ini, bagaimana prospek Negara khilafah terbentuk. Jika dalam mendudukkan wacana khilafah dalam konteks keindonesiaan, yang harus difikirkan adalah bagaimana agar kompatibel dengan sistem politik kenegaraan di Nusantara ini. Jika membangun kultur tanpa struktur, maka struktur itu akan lebih cepat hancur. Selama ini juga, telah banyak berkembang konsep-konsep ukhuwah yang dilontarkan para cendekiawan muslim. Penulis menawarkan sebuah konsep yang cukup signifikan bagi kondisi mutakhir gerakan Islam, yaitu ukhuwah harakiyyah (persaudaraan antara gerakan Islam). Persaudaraan ini menjadi inti dari keberhasilan misi Islam untuk memuliakan kehidupan manusia dengan sistemnya yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (sempurna).
Humanisasi adalah memanusiakan manusia. Saat ini sedang terjadi proses dehumanisasi. Liberasi adalah pembebasan bangsa dari kemungkaran, kekejaman, kemiskinan, keangkuhan teknologi dan pemerasan. Dengan liberasi, kita ingin bersama membebaskan diri dari belenggu-belenggi yang kita bangun sendiri. Sementara transendensi adalah menambahkan dimensi transenden dalam seluruh sendi kehidupan. Inilah manifestasi ihsan sesunggunya, saat kita merasa Allah selalu mengawasi manusia. Dimensi transcendental ini adalah peneguhan tauhid secara terus menerus, kontinyu dan mewaspadai penyusutan (yankuz).
Wacana Consciousness atau kesadaran kritis menjelajah ruang psikis anak Adam, berbicara tentang ketertindasan yang dinikmati, pemberontakan terhadap hegemoni dan proses menuju peneguhan sebuah kesadaran. Dalam tahapan inilah kesadaran spritiual-religius harusnya telah tersistem dalam diri seorang kader. Seperti tantangan ghazwul fikr (perang pemikiran), dalam konteks pendidikan (tarbiyah), hegemoni itu yang sering terjadi. Maka diperlukannya seorang pengendali komunitas kecil (murobbi) menghegemoni sisi rasionalitas, psikis dan perilaku keseharian anggota komunitas tersebut (halaqoh), hingga memenuhi apa yang distandarkan (muwashafat rijal al-da’wah). Ketika seluruh perangkat dalam proses tarbiyah ini mampu “membebaskan” mad’u dari “ketertindasan” dan hegemoni intelektual, psikis dan perilaku, maka kader tarbiyah yang tercipta adalah pekerja-pekerja kritis yang tahu apa yang harus dilakukannya dan menyadari seluruh posisi yang harus diambilnya. Terlebih sebagai salah satu komponen dari kapal dakwah ini. Wallahu’alam.


TENTANG PENULIS BUKU

AMIN SUDARSONO. Lahir di Grobogan Jawa Tengah, 20 Juni 1982. Sekolah di SDN 2 Panunggalan, SMPN 1 Pulokulon dan SMAN 2 Semarang. Sembari nyantri di Pondok Pesantre Salafiyah Al-Munawir Semarang.
Alumni Jurusan Sejarah Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini pernah bekerja sebagai wartawan di Banjarmasin Post (Kelompok Kompas Gramedia) dan editor pada Majalah Rumah Lentera milik Rumah Zakat Indonesia Bandung.
Amin suka bergelut di dunia aktivis. Saat ini mendapat amanah sebagai Ketua Departemen Kajian Strategis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pusat periode transisi 2009-2010. Aktivitas advokasi dan penelitiannya, sekarang banyak di Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Jakarta. Buku terakhirnya yang terbit berjudul Mengembalikan Hak Umat: Pengalaman Nahdliyin Center Pekalongan dalam Membangun dan Memberdayakan Umat (Jakarta: PATTIRO, 2010).
Suami Alwin Khafidhoh ini, sekarang memilih tinggal di Kota Bandung. Dia bisa dihubungi melalui amin_sudarsono@yahoo.com.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar